CERPEN "siapa aku?"
Prakkk!!...
. secara mendadak hempasan lembaran kertas HVS yang berisi tugas itu mendinginkan
suasana kelas di siang yang mulai panas tepat akhir dari pelajaran Bahasa Indonesia.
Pak Supratman, guru Bahasa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai sosok
panutan di SMA 1, karena sikap sabar dan humorisnya, baru saja mengenalkan
sifat barunya di hadapan kami kelas XI B.
“ Ini adalah
mental yang tidak layak untuk di kosumsi anak bangsa! Saya sebagai guru bahasa indonesia
yang dengan bangga mengabdikan diri saya untuk menjunjung tinggi jati diri
generasi muda indonesia menuju generasi yang bermartabat dan mulia akan
merasakan jati diri itu telah mati jika saya membiarkan hal ini terus berlanjut!.’’
ungkap pak Supratman tegas seraya mengangkat
tangan kanannya untuk memperkuat kata-katanya. Ini tidak biasa. Pak Supratman
tidak terlihat seperti dirinya hari ini. Ini lebih menakutkan dari hal-hal yang
paling menakutkan yang pernah kami alami. Ia marah benar-benar dari hati, suara
tuanya yang mampu
melantang tinggi
itu tidak ada kesan di buat-buat. Begitu juga tatapan matanya yang
melesat-lesat masuk kedalam jiwa kami,
membuat kami semakin merasa bersalah.
Tidak satupun dari tiga puluh siswa
di kelas itu yang berani membantah kalimat pak supratman. Kami hanya terpaku
diatas tempat duduk bersemayam dengan perasaan
yang belum bisa ditafsirkan. Dengan tatapan muka lurus kedepan Aku
berusaha melirik sahabatku Vika yang duduk disebelah kiriku. Ia terlihat
memprihatinkan. Mungkin Vika akan menganggap hari rabu adalah hari yang paling
menyebalkan atau hari sial. Karena sejak pagi perjalanan menuju sekolah ia sudah
merasakan satu persatu dari serangkaian kesialannya hari ini.
“Srik.... buruan donk... gue takut menjamur
duluan sebelum elo keluar nih.. , seharusnya gue udah selesai nge-print tugas
dari pak maman tau nggak, dan malahan seharusnya gue udah dipintu gerbang
sekolah. Ya ampun, minah...... !”.
panggilan minah itu pertanda Avika sudah sangat jengkel. Sebeluam ia meluap-luap Aku bergegas keluar, dan kami langsung
meninggalkan rumah. Padahal biasanya Aku lebih sering menunggu Vika jika akan
bepergian, namun Aku tidak suka mengejar-ngejarnya dengan terus-terusan
memanggilnya dari luar rumah. Karena itu Aku lebih baik menunggu daripada di
tunggu. Tidak lama kemudiannVika mengeluarkan flasdish dari sakunya
setelah mengetahui tempat foto copy tinggal beberapa langkah dihadapannya, dan
Aku juga demikian. Dari jauh suara Koko pemilik toko itu sudah terdengar
samar-samar, ”hayya... mana kacamata owee.. hayya...”. meskipun ia mengulanginya
berkali-kali hanya kalimat itu yang bisa kami cerna dengan telinga, karena
sisanya ia menggunakan bahasa khasnya atau suku ditambah lagi giginya yang
hampir punah dimakan usia membuat vokalnya tidak jelas. kami berdua berhenti
sejenak memperhatikan Koko yang terus mengomel tidak jelas sambil memfoto copy
buku pelanggan. Mungkin pelanggan itu bermaksud memberi tahu koko dimana
kacamatanya, tapi koko selalu tidak nyambung dengan bahasanya. Sehingga
keduanya terlihat sedang berdebat.
Padahal kacamatanya tergantung di leher kaos oblong yang disandangnya.
Melihat itu Aku dan Vika menyimpan
kembali flashdish yang kami genggam kedalam saku baju. Lagi-lagi koko
kehilangan pelanggan, tanpa disadari koko sering dirugikan dengan sikapnya yang
demikian. kami terpaksa mencari toko lain daripada mendapatkan sarapan tambahan
yang tidak jelas dari koko. Vika yang semula kesal bertambah kesal, karena toko
lain yang kami maksud ada diseberang jalan. Menuju toko itu dibutuhkan
pengorbanan yaitu menunggu yang membosankan, dan hasilnya tidak simetris. Kami
harus membuang sekitar sepuluh menit untuk mendapatkan satu menit. Seperti
inilah suasana pagi di perkotaan, jalanan penuh dengan kendaraan lalu lalang
yang tidak ada toleransi, bahkan tengah hari waktu beristirahat pun kendaraan
tidak pernah istirahat hingga pagi esok.
***
” good
morning..!” . sapa Vika dengan semangat setibanya di
toko
setelah mengetahui mas Selamet mempunyai karyawan baru. Cewek bule! Vika sangat
bangga jika bertemu dengan orang asing seperti bule itu, bahkan dulu ia pernah
mewarnai rambutnya seperti artis barat favoritnya ”Rihanna” dan dengan susah
payah serta memakan waktu berjam-jam hingga berhari-hari demi menghafal
lagu-lagunya seperti yang dia nyanyikan waktu pelajaran kesenian di SMP yang
berjudul Diamond. Vika sangat mengamati karyawan bule itu.
”yeah, morning
too... .Ada yang bisa saya bantu mbak?”
Sahut si bule
dengan dialeg kebarat-baratan yang melekat meskipun ia berbahasa indonesia.
”kita berbicara dengan bahasa indonesia saja ya, Saya cinta Indonesia.
Indonesia alamnya sangat bagus, orangnya juga ramah-ramah.” Tiba-tiba toko mas Selamet
diserbu dengan pelanggan sangat ramai, mereka
adalah anak-anak sekolah. Sebagian dari mereka hanya ingin berfoto kemudian
rebutan untuk kenalan dan dikenal dengan bule itu, karena itu mas selamet
membuat peraturan setiap pelanggan yang datang harus belanja terlebih dulu
setelah itu diizinkan berfoto dan berkenalan dengan bule. Ternyata namanya
Hallen, nama bule asli belum ada di Indonesia nama seperti itu.
“ hmh... baru
kali ini gue lihat karyawan foto copy jadi selebriti di toko”.
Gumam Vika
dengan sinis, sepertinya ia berubah tidak
tertarik melihat itu, bahkan ia hanya terdiam memberi makna saat menyaksikan
pemandangan dimatanya ini.”seistimewa itukah orang asing itu bagi indonesia?
Bahkan di beberapa siaran televisi ia juga sangat terkenal.” Vika kembali
bergumam, sepertinya ia mulai sadar dan mengurungkan niat awalnya untuk
mengeprint tugas. Tidak lama kemudian terlihat mas Selamet memunculkan dirinya seraya menyelipkan
senyum bahagia menyaksikan keramaian tokonya, karena semenjak kedatangan bule
itu tokonya tidak pernah sepi. Konon bule itu hanya sebagian dari rakyat awam
diinggris sana, lantas ia bertekad mengubah nasibnya layaknya menjadi tenaga
kerja asing mungkin terinspirasi dari TKI. Namun postur tubuhnya yang tinggi
putih serta rambut pirangnya yang digemari para artis itu membuatnya asing
dimata kami anak Indonesia, di tambah lagi dialek bahasa indonesianya yang aneh
itu telah membuatnya benar-benar bebebeda, dan kebanyakan anak bangsa
menganggap perbedaan itu sebagai sesuatu yang istimewa, karena itu bule itu
tidak menjadi TKA yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga para majikan kaya
indonesia, bahkan mungkin sebentar lagi dirinya akan dipanggil sutradara untuk
iklan sabun karena berkulit putih.
Kembali vika menggenggam flasdish-nya dan memasukkannya ke dalam
saku bajunya. Ia memutuskan tidak mengantar tugas. Sepanjang sisa jalan menuju
sekolah, ia hanya membayangkan wajah pak Supratman. Beliau adalah
guru Bahasa Indonesia yang luar biasa, jiwa nasionalismenya yang kuat
membuatnya benar-benar meneladani falsafah para leluhur pejuang bangsa Indonesia.
Terlebih nama Supratman yang disandangnya adalah nama yang kita kenal sebagai
WAGE RUDOLF SUPRATMAN sang pencipta lagu Indonesia Raya. Maka tidak heran jika
kami sangat bosan mendengar kisah bagaimana jiwa WR Supratman yang tertantang
ketika penulis karangan dalam majalah
Timbul menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Namun
demikian, kami tetap mendengarkan kisah yang keluar bukan hanya dari mulutnya
yang bercerita itu, karena setiap kata-kata yang dirangkainya menjadi cerita
itu telah disaring menjadi kalimat yang indah penuh aura humor, sehingga kami
tetap tertawa walau bosan setiap
mendengarnya sebagai pembuka pelajaran.
Begitu banyak cerita menarik yang
bisa di ambil dari sisi keteladanan Pak
Supratman sebagai guru Bahasa Indonesia. Namun siang ini, ada cerita baru yang akan menjadi sejarah dalam diri kami dan pak Supratman. Cerita yang tidak pernah kami bayangkan bagaimana alurnya. Ini
terjadi seperti mimpi terasa sangat lama dalam waktu yang singkat. Kami tiga
puluh siswa yang kebanyakan wanita dibandingkan pria telah berdiri tegak
berbanjar dilapangan menghadap tiang bendera, sementara pak Supratman disebalik
tiang bendera itu. Dengan langkah perlahan ia memutar badannya sembilan puluh derajat
sehingga posisinya menjadi tepat didepan kami khususnya Vika dan Srik. Dalam
posisi memutar itu Ia meletakkan tangan kanannya diatas kepala dengan sengaja
bagaikan gagahnya seorang Salmankhan yang penuh pesona dalam film Bollywood “
BODYGUARD”. Karena kegagahan dan kewibawaannya itulah membuat lawannya diam
ditempat persis seperti yang kami alami saat ini. Kata-kata kekecewaannya yang
dilampiaskan kepada kami sebagai murid kebanggaannya terus terngiang di telinga
kami. Sebenarnya kami takut jika pak Supratman membenci kami setelah kejadian
ini.
”ini adalah
mental yang tidak layak untuk di konsumsi anak bangsa!...”
Kini kami
menyadari kesalahan yang telah sengaja kami perbuat, mencopy paste puisi karya orang lain diinternet kemudian kami
cantumkan nama kami dibawahnya sebagai pengarangnya. Mungkin tuhan tidak
menghendaki hal itu terjadi, sehingga secara kebetulan puisi kami sama di
antara tiga puluh siswa tidak ada yang berbeda sedikitpun. Kami tahu, itu
bagaikan Nyamuk dan Baygon bagi Pak Supratman.
Karenanya kami rela menerima konsekuensi seperti ini. Kemudian Pak
Supratman menginterogasi kami satu persatu agar kami memberi alasan sebagai bentuk
dari pertanggungjawaban kami lebih lanjut. Dan tidak lain jawaban kami juga
sama, kurang memahami materi dan miskin kosakata apalagi dalam puisi memerlukan
majas, sehingga menjadi rangkaian kata yang indah menyentuh penuh makna. Inilah
kekurangan yang harus ditelan Pak Supratman, karena tidak bisa dipungkiri sejak
dahulu kala murid selalu enggan untuk bertanya tentang pelajaran yang tidak
dipahaminya sehingga jika ada tugas, kejadian seperti ini selalu terulang.
Bahkan dirinya sendiri pernah mengalami hal ini.
Setelah interogasi selesai Pak
Supratman kembali berdiri tegap dihadapan kami semua. Raut mukanya
serius-tegang- namun diselimuti
aura
berseri seperti dua sejoli yang sedang bertatapan muka. Perlahan Ia menyungging
senyum khasnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kami tidak mengerti dengan
maksud senyuman itu. Mungkin ruhnya yang asli sudah mulai kembali. Tiba-tiba ia
memerintahkan ketua kelas untuk mengambil tasnya diatas mejanya dikelas kami.
Setelah itu Ia mengeluarkan tiga buah kotak kecil yang ter
bungkus rapi dari dalam tasnya. Ternyata Pak Supratman telah bersusah payah
menyiapkan hadiah istimewa bagi tiga orang terbaik pengarang puisi.
”siapakah yang akan menerima hadiah istimewa ini..?,
Apakah tiga orang itu ada disini?”. Tanya Pak
Supratman serius.
Kami saling berpandangan penuh tanda tanya. Kemudian
Pak Supratman melanjutkan.
”tidak semestinya satu karung buah jeruk yang busuk
itu busuk semua, karena itu Avikalia dan Ana Sriwati kalianlah yang pantas
mendapatkan hadiah ini. Saya dengan bangga menghargai jiwa nasionalisme mereka
berdua, hari ini mereka telah menunjukkan rasa peduli dan cintanya
terhadap bangsa Indonesia. Bagi mereka lebih baik di hukum daripada mengerjakan
tugas tapi meminta jasa kepada orang yang tidak mengindahkan nila-nilai Bangsa
Indonesia seperti layanan di tempat Foto Copy itu.. Di samping itu, saya juga
sangat kecewa mengapa anak-anak bangsa seperti kalian ini sangat cinta dengan
budaya asing. Tanyakan pada diri kalian sendiri, Siapa Aku??... , Siapa Aku…! Teriak
pak Supratman cetar menembus rongga telinga. Ia ingin mempatrikan kalimat Siapa
Aku didalam dada para pemuda yang ada dihadapannya itu sambil meletakkan
kepalan jari tangan kanannya di dada layaknya seorang adika yang dengan tegas membacakan
Dasa Dharma Pramuka.
“jika kalian melihat binatang berkaki dua, bersayap,
memiliki paruh kemudian berkokok. Siapakah binatang itu?” lanjut Pak Supratman dengan pertanyaan yang memanas
dari jiwanya.
“ ayam…”sahut
para siswa serentak dan pelan.
“ mendengar
kata berkokok membuat jelas bahwa binatang itu adalah ayam. Lantas jika itu
adalah kalian warga Negara Indonesia tetapi kalian tidak bisa berbahasa Indonesia
dengan baik dan lancar bahkan mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa
asing. Jadi, siapa sebenarnya kalian? Jika seperti ini kenyataanya, ayam lebih
mudah dikenali karena ia hanya berkokok tidak mengeong ataupun mengembek
seperti kambing.
tegas Pak Supratman dihadapan para siswa yang masih bertanya-tanya didalam hatinya “ Siapa
Aku?”.
Mereka berjanji dengan diri mereka sendiri, mulai hari ini akan selalu bertanya
pada diri sendiri, sehingga Siapa Aku akan terjawab dengan alami tanpa paksaan.
Bahkan mereka akan menuliskan kata Siapa Aku dimana-mana termasuk di kelas
Bahasa Indonesia, dengan tujuan agar mereka senantiasa sadar harus bersikap
sebagaimana layaknya anak bangsa yang berkepribadian Indonesia. Sementara Vika
dan Srik masih sulit menggambarkan isi hatinya, ia bingung dengan hadiah dari
Pak Supratman. keduanya tetap dihukum di jam istirahat ini atas kesalahan yang
sama yaitu sama-sama plagiat dari internet. Vika berusaha tidak menghiraukan
hal itu, ia akan melaksanakan hukumannya dengan senang hati dan hari rabu tidak
akan menjadi hari yang menyebalkan atau hari sial baginya melainkan hari yang
akan selalu ia kenang layaknya hari Tujuh Belas Agustus!. ia berjanji akan mengabadikan
momen ini dengan mencatat di diary
segera setelah pulang sekolah. Karena jumlah hadiah yang disediakan Pak
Supratman ada tiga, maka mereka bertiga akan pergi bersama-sama malam ini,
karena isi hadiah itu adalah tiket untuk talk
show dari penulis peraih nobel sastra dunia yang hanya bisa di hadiri oleh
mahasiswa dan kalangan dewasa.
Komentar
Posting Komentar